Saturday, December 4, 2010

Monyet Terbang (fiksi)

Pagi ini aku dan ibuku berbincang di taman. Seperti biasa, aku bercerita tentang keseharianku kemarin. Kemarin? Iya kemarin. Aku hanya punya kesempatan bercerita di pagi hari sebelum ibu berangkat bekerja. Hari ini aku bilang pada ibu kalau aku melihat monyet terbang kemarin. Iya, monyet terbang! Kemarin, saat aku sedang bermain di taman, aku melihat monyet terbang, ia tersenyum padaku ia, bahkan sampai melambaikan tangannya. Ibu hanya tersenyum mendengar cerita itu. Ibu hanya iya iya saja padaku. Ibu memang mendengarkan semua ceritaku, tapi pada akhirnya ibu juga bilang padaku itu hanya imajinasiku saja. Ah, perkataan ibu itu cukup membuatku patah semangat. Mengapa ibu tidak percaya itu? Padahal aku sangat yakin kalau monyet terbang itu benar-benar nyata. Itu ada. Aku yakin itu.

Keesokan harinya, bukan ibu yang aku ajak berbincang. Kali ini ayah dan kakakku yang aku ajak berbincang. Aku bilang kalau kemarin monyet itu datang lagi. Ia terbang! Kali ini tidak hanya melambaikan tangan, ia mengatakan sesuatu padaku. Tapi sayangnya, aku tak mendengar apa yang ia katakan. Yang aku lihat adalah, monyet terbang itu tersenyum tulus. Sangat tulus kepadaku. Seperti ibu, ayah dan kakakku hanya mendengarkan aku, dan seolah menyadarkanku di akhir cerita. Mereka bilang kalau itu hanyalah imajinasiku. Imajinasi mereka bilang? Jelas-jelas aku melihat monyet itu terbang diatas kepalaku. Mengapa mereka tidak percaya padaku? Mengapa?

Di hari berikutnya, aku berbincang dengan mereka, ayah, ibu dan kakakku bersamaan. Kali ini berbeda, sebelum aku memulai ceritaku, mereka sudah bertanya terlebih dahulu tentang monyet itu. Aku senang meraka menanyakan hal itu. Aku sangat senang. Itu berarti mereka selama ini mendengar ceritaku. Mereka peduli padaku. Lalu aku cerita lagi pada mereka bahwa kemarin, setelah ayah dan kakakku pulang, monyet itu datang lagi. Kali ini ia turun dari terbangnya. Ia mendekatiku dengan senyumnya yang menyejukkan. Ia selalu tersenyum. Ia mencoba untuk memelukku. Tapi entah mengapa aku mencoba untuk lari dari pelukan itu. Seperti mendapat harapan kosong, di akhir aku cerita lagi-lagi mereka bilang kalau itu hanya imajinasiku. Aah, ternyata masih belum ada yang percaya padaku.

Setelah mendengar ceritaku hari ini, ayah, ibu, dan kakakku tidak langsung pergi. Mereka berbincang sejenak dengan lelaki berjas putih di depan sana. Mereka bertanya sampai kapan aku bisa sembuh. Sampai kapan pikiranku kembali seperti orang normal lainnya. Dokter menjawab dengan sangat optimis, “tidak lama” katanya.

Setelah mereka bertiga pergi, seperti biasa, seorang suster menuntunku untuk kembali ke kamarku dan memberiku obat penenang agar aku bisa tidur. Dan aku pun kembali melihat monyet terbang itu.

2 comments:

Agung Nugraha said...

cakep ni bay,lagi-lagi-lagi

kibay said...

tunggu cerita-random-sampah gw selanjutnya. hahaha